SUARAMANADO, Jakarta : Salat Idulfitri di Masjid Istiqlal dihadiri puluhan ribu umat Islam. Hadir juga Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nasaruddin Umar, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, dan sejumlah pejabat lainnya.
Selaku khatib, Rais Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof Dr KH Abdul A’la Basyir, yang menyampaikan pesan dengan tema ‘Memperkuat Kebersamaan dengan Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa’.
Hari Raya Idulfitri, menurut KH Abdul A’la Basyir, merupakan hari di mana keagungan Allah SWT tampak di tengah-tengah manusia demikian terang benderang. Kemahabesaran dan keagungan Allah benar-benar hadir selama bulan Ramadan yang baru saja dilalui dan mencapai puncaknya pada Hari Raya Idulfitri.
“Salah satu manifestasi keagungan Allah adalah terbukanya pintu ampunan yang selebar-lebarnya selama bulan Ramadan bagi umat Islam yang mau mengambil kesempatan tersebut. Puncak kemahabesaran Allah kian transparan pada hari raya Idul Fitri ini melalui janji Allah kepada umat Islam untuk memosisikan umat Islam sebagai manusia yang baru lahir; sebagai manusia yang kembali kepada fitrah. Tentunya janji ini berlaku bagi mereka yang berhasil melaksanakan puasa sesuai perintah Allah dan berdampak konkret pada kecerdasan spiritual, emosional, dan sosial,” kata KH Abdul A’la Basyir di Jakarta, Rabu (10/4/2024).
KH Abdul A’la Basyir menjelaskan bahwa Idulfitri seutuhnya merupakan hari kelulusan atau wisuda bagi umat Islam yang berhasil lulus ujian dengan mampu mengendalikan diri lahir batin dari hal-hal yang diharamkan dan tidak mencerminkan moralitas luhur selama bulan Ramadan. Sebagai hari kembali ke fitrah dan hari wisuda, Idulfitri perlu disyukuri dengan memperbanyak takbir, tahmid dan kalimat-kalimat thayyibah.
“Dalam bingkai ini, semoga umat Islam, khususnya seluruh jamaah Salat Idulfitri di Masjid Istiqlal ini termasuk orang yang kembali ke fitrah dan berhasil menjadi wisudawan-wisudawati terbaik. Dengan demikian, kita bisa naik ke kelas yang lebih tinggi dalam ucapan sikap dan perilaku dalam sekolah kehidupan ini pada tingkatannya masing-masing,” kata KH Abdul A’la Basyir.
KH Abdul A’la Basyir juga menjelaskan bahwa terlepas apa pun capaian yang telah di raih, kesungguhan upaya yang telah dilakukan perlu disyukuri tidak hanya dengan pengakuan hati dan ungkapan lisan, tapi juga dengan tindakan yang implementatif dan transformatif. Umat Islam wajib mewujudkan rasa syukur dan pengagungan itu selain melalui tahmid, takbir dan sejenisnya, juga yang tidak kalah penting melalui kegiatan nyata dengan mengaktualisasikan dan membumikan segala anugerah Allah ke dalam kehidupan sosial yang dapat memberikan kebaikan dan kemaslahatan bersama.
“Dalam ungkapan lain, upaya syukur dan pembumian keberhasilan itu perlu dikembangkan menjadi dasar untuk membangun dan mengembangkan peradaban yang dapat mencerahkan kehidupan dan menyejahterakan bangsa; dan pada gilirannya juga bagi umat manusia secara keseluruhan dan dunia global,” kata KH Abdul A’la Basyir.
Dengan syukur transformatif ini, lanjut KH Abdul A’la Basyir, keniscayaan membangun sistem kehidupan yang dapat menjadi landasan bagi masyarakat dan bangsa Indonesia secara keseluruhan untuk terus menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Syukur transformatif harus dapat mengantarkan bangsa ini ke dalam kehidupan ideal tapi tidak utopis; suatu kehidupan yang sarat dengan keadilan, kerukunan, keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan.
KH Abdul A’la Basyir juga menyampaikan bahwa pada saat yang sama, kesyukuran ini diharapkan tidak lagi menjadi kegiatan individual yang bergerak sendiri-sendiri. Namun syukur ini harus menjadi kegiatan bersama yang dilakukan secara terarah, terprogram dan berkelanjutan dengan tujuan dan hasil yang jelas dan benar-benar bermanfaat. Kesyukuran ini harus bermakna signifikan bagi masyarakat dan bangsa yang niscaya melahirkan keadaban dan peradaban luhur bangsa. Oleh karena itu, Idulfitri (yang niscaya kita syukuri karena melimpahnya anugerah Allah pada hari itu) perlu dijadikan momentum strategis untuk aktualisasi rasa syukur ke dalam program dan aksi nyata.
“Kita jangan hanya menginginkan untuk meraih keberhasilan sesaat. Kita niscaya bertekad untuk berhasil secara berkelanjutan dan mampu meningkatkan kualitas keberhasilan itu dari waktu ke waktu. Hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini baik di tingkat individu, masyarakat, maupun bangsa,” kata KH Abdul A’la Basyir.
Dijelaskan KH Abdul A’la Basyir, dalam perspektif Islam, persatuan merupakan ajaran fundamental yang harus menjadi pegangan umat Islam dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya, berpecah belah merupakan hal yang harus dihindari kapan pun dan di mana pun.
“Sebagai contoh, kesempatan mudik silaturrahim tidak cukup sekadar bersilaturrahim kemudian selesai. Dari silaturrahim dan halal bihalal, kita perlu melakukan sesuatu yang bermakna bagi masyarakat dan bangsa, mulai dari pemberdayaan warga, terutama yang selama ini terpinggirkan hingga pengembangan desa. Demikian pula dengan kemampuan kita mengeluarkan zakat fitrah, misalnya, kita harus mengembangkannya sebagai program yang memastikan tiadalagi warga di mana pun, siapa pun dan kapan pun, khususnya di negeri ini, yang merasa kelaparan,” tandas KH Abdul A’la Basyir.
Sumber : kemenag.go.id