SUARAMANADO, Bali : Pada salah satu pembukaan World Water Forum (WWF) ke-10 di Nusa Dua, Bali (21 Mei 2024), Deputy Director General of UNESCO, Xing Qu, menyampaikan kekagumannya terhadap masyarakat Bali dalam konsistensinya menjaga serta mengelola air demi kehidupan yang seimbang antara alam dan manusia. Hal tersebut sangatlah tercermin dalam salah satu budaya masyarakat Bali di sektor pertanian dengan memanfaatkan sistem irigasi Subak.
Menurut Xing Qu, subak bisa menjadi salah satu upaya dalam menghadapi berbagai tantangan permasalahan air pada abad ke-21 ini. Sekadar informasi, sistem irigasi subak sudah diterapkan di Bali sejak abad ke-8, dan terus dipertahankan secara turun temurun hingga saat ini. Bahkan, subak telah tercatat sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO sejak 29 Juni 2012. Tak heran jika subak menjadi satu faktor pendukung dalam kehidupan masyarakat Bali sehari-hari.
Secara harfiah, subak bermanfaat dalam mengatur tata air pada persawahan di Bali, yang mengalirkan air dari sumber mata air: sungai atau danau, ke seluruh sawah-sawah secara merata. Sistem pengairan subak dianggap sebagai sistem irigasi yang adil, karena seluruh petani dan masyarakat Bali mendapatkan “haknya” atas air. Oleh karena itu, sistem subak di Bali tidak bisa dibuat sembarangan, dan pengairan subak diatur oleh seorang pemuka adat: pekaseh.
Filosofi Mendalam Sistem Subak
Bagi masyarakat Bali, air merupakan simbol keberlanjutan, kesucian, dan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut juga yang menjadi salah satu landasan dalam membuat sistem subak dengan berpegang teguh terhadap filosofi masyarakat Hindu Bali: Tri Hita Karana, yakni filosofi menjaga keseimbangan antara manusia dan sesamanya, manusia dengan alam, serta manusia dengan Sang Pencipta.
Filosofi Tri Hita Karana tersebut terdiri dari tiga unsur kehidupan: Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Unsur parahyangan ditujukan untuk pemujaan terhadap pura di sekitar subak. Sementara pawongan dengan organisasi yang mengatur sistem subak. Sedangkan unsur palemahan menunjukkan kepemilikan tanah atau wilayah setiap subak. Ketiga unsur tersebut menjadi sebuah hubungan timbal balik yang erat kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan.
Fakta menarik lainnya tentang sistem pengairan subak di Bali ini adalah adanya pura-pura yang dibangun di sekitar subak, seperti yang tertuang pada unsur parahyangan. Umumnya, pura yang berada di sekitar subak disebut Pula Ulun Carik atau Pura Bedugul, pura-pura ini khusus dibangun oleh para petani untuk memuja Dewi Sri, sang dewi kesuburan dan kemakmuran.
Subak Menjadi Daya Tarik Wisata
Tak hanya berdampak baik bagi sektor pertanian, subak menjadi salah satu daya tarik wisata di Bali, seperti yang ada di Desa Wisata Jatiluwih, Penebel, Tabanan. Berada di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan di kaki Gunung Batukaru, Desa Wisata Jatiluwih memiliki area persawahan berundak dengan sistem subak lebih dari 50.000 hektare atau paling luas di Bali.
Hamparan persawahan dengan sistem subak inilah yang menjadi daya tarik wisata di Desa Wisata Jatiluwih. Salah satu atraksi wisata yang dapat Sobat Parekraf rasakan langsung di desa wisata ini adalah mengikuti kegiatan para petani, seperti membersihkan sawah (nampadin), membajak sawah (ngelampit), meratakan tanah sawah (mlasah), menanam padi (nandur), hingga memanen (sasih sada).
Selain itu, daya tarik utama yang tak bisa dilepaskan dari desa wisata ini adalah Festival Jatiluwih yang rutin digelar setiap tahunnya. Festival ini dilakukan sebagai salah satu bentuk ucapan berterima kasih masyarakat Bali kepada Dewi Sri, atau yang lebih dikenal masyarakat setempat dengan nama Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Dalam festival ini biasanya menampilkan berbagai seni pertunjukan khas dari Desa Jatiluwih. Mulai dari tarian kolosal Rejang Kesari, tari Bungan Sandat, tari Metangi, tari Cendrawasih, tari Margapati dan tarian lainnya.
Perpaduan antara seni budaya, kearifan lokal, serta hamparan pemandangan yang indah menjadi paket wisata komplet untuk dinikmati saat liburan, bukan?
Sumber : kemenparekraf.go.id