SUARAMANADO, Washington DC : Hubungan dua sekutu lawas, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang sudah sejak lama agak memanas sedang diuji dengan serangan mendadak kelompok Hamas ke Israel. Apalagi Tel Aviv sendiri sedang mempersiapkan kemungkinan melakukan penyerangan darat di Jalur Gaza Palestina.
Setelah berbulan-bulan mengalami ketegangan terkait masa depan Timur Tengah, kedua pemimpin tersebut kini terpaksa menjalin kemitraan di masa perang menyusul serangan mematikan oleh militan Hamas dari Gaza ke Israel.
Hubungan AS dengan Israel, sekutu utama Washington di Timur Tengah, memburuk dalam beberapa bulan terakhir. Pasalnya Gedung Putih berpihak kepada para kritikus Israel yang menentang rencana pemerintahan Netanyahu yang berhaluan kanan untuk membatasi kekuasaan Mahkamah Agung.
Namun perbedaan pendapat di antara kedua pemimpin itu jauh lebih mendalam.
Sebagai presiden, Biden sering menekankan dukungannya terhadap negara-negara Israel dan Palestina yang merdeka. Para pejabat pemerintah mengatakan dia telah mengemukakan hal tersebut setiap kali memiliki kesempatan berbicara dengan Netanyahu. Biden juga meminta ia menghentikan perluasan pemukiman Yahudi di Tepi Barat yang diduduki pasukan Israel.
Setelah kembali menjabat pada akhir Desember, Netanyahu justru menentang pembentukan negara Palestina dalam waktu dekat. Bahkan ia menyetujui proyek pembangunan ribuan unit perumahan baru untuk pemukim Tepi Barat.
Sejarah hubungan mereka seringkali diwarnai dengan ketegangan, termasuk ketika Biden menjabat sebagai wakil presiden pada masa kepresidenan Barack Obama. Saat itu Netanyahu gagal membatalkan perjanjian nuklir Iran yang didukung AS pada 2015.
Hamas didukung oleh Iran, musuh bebuyutan Israel di kawasan.
Sebaliknya, Netanyahu justru mengadakan pertemuan dengan Donald Trump, pendahulu Biden dari Partai Republik dan calon lawannya pada pemilu 2024. Trump sendiri dikenal sangat menyokong Netanyahu lewat dukungan ideologisnya dan kebijakan yang sangat pro-Israel.
Meskipun demikian, Netanyahu memilih untuk bermain aman dan tidak memihak dalam kampanye pemilihan presiden (pilpres) AS.
Setelah gempuran Hamas ke Israel pada akhir pekan – serangan paling mematikan sejak serangan Mesir dan Suriah dalam perang Yom Kippur pada 50 tahun lalu – Biden mengesampingkan perbedaan pendapat di antara kedua pimpinan dan memilih menghubungi Netanyahu lewat sambungan telepon. Biden menegaskan bahwa timnya akan memberikan “segala yang dibutuhkan” Israel untuk melawan kelompok militan Hamas, kata seorang pejabat senior pemerintah.
Biden meyakinkan Netanyahu akan dukungan AS yang “kuat”, dan berupaya meningkatkan persenjataan militer Israel dan mengirim kelompok kapal induk lebih dekat ke Israel untuk menunjukkan dukungannya yang masif.
Dalam pernyataan publiknya, Biden belum mengatakan bahwa Israel harus menahan diri dalam memberikan respons militernya atau menyatakan keprihatinan AS terhadap rakyat Palestina, yang sering kali menjadi bagian dari reaksi Gedung Putih selama krisis-krisis sebelumnya.
“Presiden menekankan bahwa tidak ada pembenaran apa pun terhadap terorisme, dan semua negara harus bersatu dalam menghadapi kekejaman brutal seperti ini,” kata Gedung Putih mengenai panggilan kedua Biden kepada Netanyahu pada Minggu (8/10).
Perang yang Lebih Luas
Biden memerintahkan timnya untuk menghubungi rekan-rekan mereka di Teluk dan negara-negara tetangga untuk mencoba mencegah eskalasi menjadi perang yang lebih luas. Biden memfokuskan pencegahan terhadap kelompok Hezbollah yang didukung oleh Iran untuk membuka front kedua di perbatasan utara Israel, kata pejabat pemerintahan.
Meskipun Biden tampak memberikan Netanyahu kebebasan untuk bertindak pada saat ini, tetapi perbedaan kebijakan tetap ada. Biden ditengarai bisa mengubah kebebasan tersebut jika jumlah kematian di Gaza terus meningkat dan pertempuran masih berlanjut, demikian diprediksi oleh para ahli kebijakan luar negeri.
Saluran TV Israel mengatakan jumlah korban tewas akibat serangan Hamas di negara itumeningkat menjadi 900 orang.
Di Gaza yang dikuasai Hamas, Israel melancarkan serangan balasan paling intensif yang pernah ada dan menewaskan lebih dari 500 orang sejak Sabtu (8/10).
“Pada akhirnya, jika konflik berlarut-larut selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan, beberapa sekutu AS akan kehilangan kesabaran dan secara terbuka akan meminta agar konflik diakhiri. Pada saat itu, Anda mungkin melihat AS berupaya untuk meyakinkan Israel secara tidak langsung agar mengakhiri pertempuran,” kata Jonathan Panikoff, mantan pejabat intelijen nasional pemerintah AS untuk Timur Tengah yang sekarang bekerja di lembaga kajian Atlantic Council.
Biden juga menghadapi tantangan potensial untuk menjamin pembebasan sejumlah orang AS yang hilang yang mungkin disandera oleh Hamas.
Di dalam negeri, Biden menghadapi tekanan dari pihak kanan dan kiri. Kelompok garis keras Partai Republik di Kongres menuduhnya memberikan kekuatan kepada Iran dengan kesepakatan pertukaran tahanan baru-baru ini, sesuatu yang dibantah keras oleh para pembantu presiden.
“Jika Presiden Biden dapat mendukung Ukraina selama diperlukan, saya berharap Presiden Biden dapat mendukung Israel selama diperlukan,” kata Senator Partai Republik Tom Cotton, seorang yang agresif dalam kebijakan luar negeri di siaran televisi Fox News.
Beberapa rekan Demokrat, sebelum serangan itu, meminta Biden untuk meneliti apakah Israel layak menerima paket bantuan militer bernilai miliaran dolar yang diterimanya setiap tahun, dan menyerukan agar Biden berbuat lebih banyak untuk Palestina.
Lobi pro-Israel yang kuat, yang dipimpin oleh AIPAC (American Israel Public Affairs Committee), merupakan kekuatan besar dalam politik AS, sering mendukung Netanyahu, dan diperkirakan akan memainkan peran dalam pemilihan presiden tahun 2024.
Tak Sayang ‘Bibi’ tapi Cinta Israel
Biden, 80 tahun, menyebut dirinya seorang “Zionis”, dan dia serta Netanyahu, 73 tahun, sama-sama berbicara tentang persahabatan mereka yang telah dibina puluhan tahun.
Namun, sepanjang tahun ini, Biden sudah berbulan-bulan tidak berbicara dengan Netanyahu – atau yang kerap dipanggil Bibi. Bibi juga keki karena tidak mendapat kesempatan bertemu empat mata dengan Biden hingga pada 20 September. Pertemuan kedua pemimpin itu pun bukan dilakukan di Gedung Putih, melainkan di sebuah hotel di New York, di sela-sela Sidang Umum PBB.
Di sana, Biden menyampaikan kekhawatirannya mengenai perlunya stabilitas di Tepi Barat dan kekerasan pemukim yang meningkatkan ketegangan dengan warga Palestina, kata seorang pejabat senior pemerintah.
Mereka tampaknya menemukan titik temu terkait upaya mediasi AS untuk menengahi masalah normalisasi musuh bebuyutan Israel dan Arab Saudi. Namun serangan Hamas memberikan pukulan telak terhadap upaya tersebut, sehingga masa depan normalisasi menjadi tidak pasti.
Aaron David Miller, pakar Timur Tengah di Carnegie Endowment for International Peace, mengatakan bahwa terlepas dari masalah Biden dengan Netanyahu, “rakyat Israel dan keamanan Israel sudah tertanam dalam DNA Biden.”
“Biden tidak jatuh cinta kepada ‘Bibi’ Netanyahu,” katanya, menggunakan nama panggilan perdana menteri. “Namun, dia jatuh cinta kepada negara Israel, rakyat Israel dan dia akan melakukan apapun yang dia bisa untuk melindungi rakyat Israel.”
Sumber : voaindonesia.com