SUARAMANADO, Pontianak : Masyarakat, khususnya yang berminat menjadi pekerja migran, diimbau lebih waspada dengan kian berkembangnya modus operandi tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Pasalnya, modus baru yang diterapkan para pelaku menyasar kriteria korban yang lebih variatif.
Hal tersebut diungkapkan Deputi II Bidang Koordinasi Politik Luar Negeri Kemenko Polhukam, Duta Besar Rina Soemarno. Rina mengutarakannya saat memberi sambutan dalam Rapat Koordinasi dan Diskusi Publik Pencegahan TPPO Khususnya pada Sektor Judi Online, Online Scam, dan Upaya Perlindungan WNI di Luar Negeri. Rakor digelar di Pontianak, 20-21 November 2023.
“Sejak 2021, sejak dibukanya kembali tapal batas antarnegara yang sempat ditutup karena pandemi, muncul fenomena baru di kasus TPPO yang menggunakan modus teknologi informasi atau internet yang kita kenal sebagai online scam, yang terus meningkat,” kata Deputi II.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, hingga akhir Oktober ini, perwakilan RI di luar negeri telah menangani 3.347 kasus pekerja migran Indonesia yang terkait dengan online scam. Kejadiannya tersebar di sejumlah negara Asia Tenggara hingga Timur Tengah. Jumlah tersebut melesat jauh dari angka di tahun 2021 yang hanya 166 kasus. Bila dihitung hanya dari Januari hingga Oktober 2023, tercatat sebanyak 760 kasus yang telah ditangani.
Rina menjelaskan, saat tindak pidana ini masih menggunakan modus konvensional, korban TPPO biasanya para wanita dengan latar belakang pendidikan yang minim dan berasal dari pedesaan. Para korban juga biasanya merupakan calon tenaga kerja luar negeri yang tidak memiliki skil khusus. Mereka hanya menargetkan pekerjaan di sektor informal seperti asisten rumah tangga. Kondisi tersebut berbeda dengan kondisi terbaru.
“Tren baru TPPO yang kita bahas hari ini, korbannya umumnya laki-laki, juga berpendidikan tinggi dari universitas, mereka berasal dari perkotaan, mereka sangat paham teknologi informasi, mereka paham internet, mereka dipekerjakan secara paksa di tempat-tempat di Asia Tenggara untuk melakukan kegiatan yang tidak benar. Pada umumnya mereka direkrut melalui media sosial dan grup chat,” kata Rina.
Di tempat kerja itu, para korban modus baru TPPO ini mengalami kekerasan karena beragam hal. Mulai dari dieksploitasi jam kerjanya, tidak mendapatkan hak seperti seharusnya, apa lagi jika mereka tidak bisa memenuhi target yang ditetapkan. “Bahkan sekarang ada fenomena yang lebih baru lagi yaitu penjualan organ tubuh, termasuk ginjal,” tutur Rina.
Deputi II mengungkapkan, masuknya banyak laporan, mulai dari ke Kementerian Luar Negeri, ke perwakilan Indonesia di luar negeri, hingga laporan langsung lewat akun media sosial Kemenko Polhukam, membuat pihaknya harus melakukan tindak lanjut serius. Serangkaian rapat koordinasi pun dilakukan, bahkan dipimpin langsung Menko Polhukam Mahfud MD.
“Dari serangkaian rapat itu kami identifikasi beberapa permasalahan. Kesimpulan utamanya adalah kasus TPPO mayoritas akibat dari penempatan pekerja migran yang nonprosedural. Juga disimpulkan perlunya tindakan hukum untuk menjerat pelaku TPPO, karena ini amat sangat erat kaitan dengan tindak pidana lainnya terutama korupsi, gratifikasi, suap, dan pencucian uang,” tutur dia.
Selain itu, ungkap Rina, edukasi terhadap masyarakat pun perlu digencarkan. “Diperlukan upaya pencegahan besar-besaran dan berkelanjutan, termasuk upaya edukasi. Diperlukan juga kesadaran yang sifatnya nasional, karena kasus TPPO sudah masuk dalam tahap darurat. Indonesia ini darurat TPPO,” kata Deputi II.
Sumber : polkam.go.id