SUARAMANADO, Jakarta : Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa Indonesia terus melakukan penyesuaian kebijakan dalam menghadapi situasi perekonomian yang sangat dinamis saat ini. Tahun 2022 yang diharapkan menjadi tahun pemulihan bagi banyak negara, kini dibayangi oleh kenaikan harga (inflasi) global akibat gangguan pasokan, terutama pada pangan dan energi, serta akibat adanya konflik di Ukraina. Hal ini menjadi tantangan baru bagi proses pemulihan.
“Kami harus benar-benar selalu berpikiran terbuka dan menyesuaikan kebijakan kami. Jadi, kalibrasi dan rekalibrasi sangat diperlukan. Ini juga yang diskusikan oleh forum G20 dan kita semua benar-benar melihat. Ini tidak seperti satu kebijakan atau arah yang dogmatis, tapi kita harus melihat data dan apa yang perlu didesain ulang dari sisi kebijakan kita,” terang Menkeu pada CNA Live Interview, Selasa (14/06).
Menkeu mencontohkan Indonesia yang melakukan kebijakan pelebaran defisit hingga di atas 3 persen saat menghadapi pandemi tahun 2020. Kebijakan tersebut hanya akan dilakukan selama tiga tahun, dan pada tahun 2023 mendatang Indonesia harus kembali ke level defisit di bawah 3 persen. Menkeu mengatakan bahwa kebijakan ini diambil sebagai respon dari peningkatan belanja negara yang naik secara signifikan di sektor kesehatan dan sosial untuk menghadapi pandemi dan mengatasi dampaknya, dimana pada saat yang sama penerimaan negara turun drastis karena ada pembatasan mobilitas untuk mencegah penularan saat itu.
Saat ini, dengan kondisi yang berbeda akibat adanya kenaikan harga komoditas, Menkeu mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi peningkatan pendapatan negara akibat kenaikan harga. Namun, Menkeu juga mengingatkan bahwa pada pos belanja negara juga mulai dilakukan pergeseran prioritas untuk menjaga momentum pemulihan sekaligus menjaga proses konsolidasi fiskal.
“Tahun ini, Indonesia juga menikmati commodity boom sehingga pendapatan negara meningkat sangat kuat. Sementara, pengeluaran akan tetap diarahkan untuk prioritas yang paling penting yaitu yang pertama untuk melindungi daya beli masyarakat. Yang kedua, diupayakan untuk terus mendukung momentum pemulihan, baik melalui investasi maupun ekspor yang kini meningkat sangat drastis karena pemulihan global. Dan kemudian pada saat yang sama, kami mencoba membuat proses konsolidasi untuk kebijakan fiskal kami,” terang Menkeu.
APBN sebagai instrumen fiskal didesain secara fleksibel dan adaptif dalam merespon berbagai kondisi dan dinamika yang terjadi. Namun demikian, Menkeu menegaskan bahwa APBN tetap harus disehatkan kembali melalui konsolidasi fiskal menuju defisit di bawah 3 persen. Kebijakan tersebut menjadi bagian dari upaya pemerintah menjaga fiskal negara tetap sehat dan berkelanjutan.
“Ini semua tentang bagaimana kami mencoba untuk mengkombinasikan (kebijakan) dengan begitu banyak tantangan kompleks yang datang membayangi proses pemulihan yang tidak mulus dan sederhana. Dan kami mencoba menggunakan instrumen yang sama yaitu instrumen fiskal kami dengan sangat fleksibel. Jadi prioritas bisa digeser. Di masa pandemi, prioritas kita ada pada jaring pengaman sosial dan kesehatan. Di masa terjadi guncangan akibat kenaikan harga pangan dan energi, prioritas kita berusaha melindungi daya beli masyarakat,” terangnya.
Sumber : kemenkeu.go.id