Laporan PBB Tuduh Militer Myanmar Lakukan Kejahatan Perang

SUARAMANADO, Jenewa: Laporan yang baru dirilis dari sekelompok pakar hak asasi manusia independen mengatakan ada “bukti substansial” bahwa junta militer Myanmar telah melakukan kejahatan perang brutal dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dengan warga sipil yang sengaja menjadi sasaran yang melanggar hukum hak asasi manusia internasional.

“Mandat kami adalah mengumpulkan bukti kejahatan internasional paling serius di Myanmar. Laporan kami menunjukkan bahwa jumlah kejahatan ini terus meningkat. Konflik bersenjata meningkat dalam intensitas dan kebrutalan,” kata Nicholas Koumjian, kepala Mekanisme Investigasi Independen untuk Myanmar (Independent Investigative Mechanism for Myanmar/IIMM) kepada wartawan di Jenewa, Selasa (13/8).

“Kami telah mengumpulkan bukti substansial yang menunjukkan tingkat kebrutalan dan ketidakmanusiawian yang mengerikan di seluruh Myanmar. Banyak kejahatan telah dilakukan dengan maksud untuk menghukum dan menimbulkan teror di antara penduduk sipil,” katanya saat peluncuran laporan tahunan Mekanisme tersebut.

Belum ada tanggapan langsung dari junta Myanmar, yang tidak diakui PBB sebagai pemerintah yang sah.

Koumjian mengatakan IIMM belum mengirimkan laporan tahunan tersebut ke otoritas mana pun di Myanmar, meskipun seorang pejabat informasi publik mencatat PBB telah mengirimkan salinannya ke semua negara anggota, termasuk Myanmar.

Laporan setebal 18 halaman oleh Mekanisme tersebut, sebuah badan yang dibentuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada tahun 2018, mencakup periode antara 1 Juli 2023 dan 30 Juni 2024.

Penyidik mengatakan laporan tersebut didasarkan pada bukti yang dikumpulkan dari lebih dari 900 sumber, termasuk lebih dari 400 kesaksian saksi mata, bersama dengan bukti tambahan seperti foto, video, citra geospasial, unggahan media sosial, dan bukti-bukti forensik.

Penulis laporan tersebut mengatakan bahwa sejak militer menggulingkan pemerintah yang dipilih secara demokratis di negara itu pada bulan Februari 2021, “jumlah kejahatan internasional yang serius di Myanmar terus meningkat dalam frekuensi dan skala.”

Mereka mencatat bahwa dalam perang saudara itu, militer telah kehilangan wilayah di daerah-daerah terpencil yang dikuasai oleh organisasi-organisasi etnis bersenjata dan Pasukan Pertahanan Rakyat (People’s Defense Force atau PDF), yang menyebabkan mereka semakin bergantung pada “pengeboman udara dan artileri di daerah-daerah berpenduduk, yang mengakibatkan banyaknya korban cedera dan kematian di antara penduduk sipil.”

Laporan tersebut mendokumentasikan banyak insiden yang membuktikan bahwa warga sipil “sering kali menjadi korban konflik, bukan sekadar korban samping, tetapi sering kali menjadi sasaran dalam konflik,” kata Koumjian.

Laporan tersebut menuduh pasukan keamanan melakukan kekerasan dalam upaya menekan protes dengan kekuatan yang tidak proporsional, sering kali mematikan, “yang menyebabkan kematian warga sipil dan cedera fisik yang serius.” Dikatakan bahwa ribuan orang telah ditangkap dan banyak yang disiksa atau dibunuh dalam penahanan, “terutama dalam penahanan militer.”

Para penyelidik mengatakan mereka juga telah mengumpulkan bukti yang dapat diandalkan tentang kejahatan seksual dan berbasis gender dalam tahanan yang dilakukan terhadap semua jenis kelamin, termasuk anak-anak di bawah usia 18 tahun, serta pemerkosaan berkelompok dan pemerkosaan berulang kali.

Kepala penyelidik meminta blok regional Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, atau ASEAN, untuk membantu mengakhiri kekerasan dan membawa para pelaku kejahatan ke pengadilan.

“ASEAN adalah pemain yang sangat penting di Myanmar,” kata Koumjian, seraya mencatat bahwa kelompok tersebut “telah menyusun konsensus lima poin untuk mengakhiri pertempuran, yang telah ditandatangani oleh junta sendiri.”

“Namun, kami telah melihat peningkatan dalam kekerasan, dan kami telah melihat peningkatan dalam kekerasan yang menarget warga sipil. … Tidak cukup hanya dengan mengatakan kami mendukung diakhirinya kekerasan,” katanya. “Harus ada langkah-langkah yang diambil untuk memastikan bahwa kekerasan benar-benar telah berakhir. Sudah saatnya bagi ASEAN untuk merealisasikan konsensusnya.”

Sumber: voaindonesia.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *