SUARAMANADO, Fiji: Usulan Pemerintah Indonesia tentang standar tenaga kerja perikanan (Conservation and Management Measure (CMM) on Crew Labour Standards pada pertemuan tahunan tuna dunia Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC21) akhirnya disepakati.
Perjuangan tersebut telah Indonesia bawa sejak sidang WCPFC17 di tahun 2020 yang didukung sebagian besar negara anggota WCPFC. Hingga akhirnya dibentuk Intersessional Working Group yang di ketuai bersama (co-chair) oleh Indonesia dan New Zealand sebagai perwakilan dari Fisheries Forum Agency (FFA) atau Forum negara di kawasan Pasifik.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Lotharia Latif menjelaskan, upaya yang dibawa Indonesia pada pertemuan internasional itu lantaran banyaknya kasus tenaga kerja pada kapal perikanan berkewarganegaraan Indonesia yang mengalami pelanggaran hak asasi manusia saat bekerja di kapal asing.
“Banyak penyelewengan yang kami temukan, diantaranya mulai dari kasus gaji yang tidak dibayarkan, terlantar, perlakuan tidak baik di atas kapal, hingga pelarungan. Hal ini menjadi perhatian pemerintah dan kita bawa ke ranah internasional,” ungkapnya dalam keterangan resmi di Jakarta, (4/12/2024).
Menurut Latif perjuangan Indonesia itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Pembahasan proposal usulan Indonesia pada Intersessional Working Group WCPFC berlangsung selama 4 tahun dan akhirnya bisa mengakomodir pandangan dan kompromi dari semua negara anggota.
“Diadopsinya CMM tersebut disambut gembira oleh negara anggota WCPFC dan juga observer karena WCPFC menjadi Regional Fisheries Management Organization (RFMO) pertama yang menyepakati dan mengadopsi CMM Crew Labour Standard,” terangnya.
CMM akan berlaku mulai 1 Januari 2028 untuk memberikan waktu pada negara anggota WCPFC untuk mengadopsi aturan kedalam aturan nasional. Implementasi CMM ini mengatur kewajiban yang harus dijalankan oleh negara bendera anggota WCPFC.
Hal-hal yang wajib diterapkan diantaranya terkait dengan kondisi pekerjaan dan remunerasi yang layak, kontrak yang transparan dan adil bagi pihak yang terlibat, penanganan untuk kru yang mengalami cedera serius, jatuh dari kapal, maupun meninggal di atas kapal perikanan. Lebih lanjut ketentuan ini juga mengatur prosedur dan jalur komunikasi untuk kemudahan kontak dan koordinasi dengan crew provider dan keluarga terdekat.
CMM tersebut menunjukkan komitmen yang besar dari negara anggota WCPFC untuk tidak hanya memperhatikan keberlanjutan sumber daya ikan tetapi memperhatikan standar keselamatan dan keamanan bagi para awak kapal.
Sebagaimana diketahui Indonesia mengikuti rangkaian pertemuan Finance and Administration Committee (FAC18) dan Commission Meeting Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC21) pada tanggal 27 November – 3 Desember 2024, di Suva, Fiji.
Delegasi Indonesia diketuai oleh Tim Kerja Pengelolaan Sumber Daya Ikan dan Laut Lepas Putuh Suadela dengan anggota Ketua Pusat Riset Perikanan – BRIN, perwakilan Direktorat Pelindungan Warga Negara Indonesia, Kementerian Luar Negeri, Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri KKP serta para peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Sebelumnya, di berbagai kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono juga menegaskan komitmennya dalam memberikan perlindungan dan meningkatkan kualitas tenaga kerja di industri perikanan baik di dalam maupun di luar negeri.
“Dokumen perjanjian bekerja di laut itu mutlak dimiliki awak kapal perikanan. Rekrutmen tenaga kerja tidak boleh asal. Selain itu peningkatan kompetensi juga menjadi salah satu cara untuk memutus rantai perbudakan di kapal perikanan,” tandasnya.
Sumber: kkp.go.id