SUARAMANADO, Jakarta : Salat Iduladha 1443 Hijriah tingkat kenegaraan berlangsung di Masjid Istiqlal Jakarta. Hadir, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, para Menteri Kabinet Indonesia Maju, Pimpinan dan Pejabat Kementerian dan Lembaga Negara, serta Duta Besar negara-negara sahabat.
Pelaksanaan Salat Iduladha ini berdasarkan keputusan pemerintah lewat sidang Isbat digelar Minggu, 10 Juli 2022. Bertugas sebagai Khatib Masjid Istiqlal adalah Mendiknas Periode 2009-2014 yang sekaligus sebagai ketua BWI Pusat, Prof. Mohammad Nuh. Khutbah mengangkat tema “Semangat Gotong Royong Perkuat Sendi Kebhinekaan”.
Bertindak sebagai imam, Ustadz H. Salim Ghazali, S.Ud, Imam Badal, Ustadz H. Ahmad Husni Ismail, MA, Bilal, Ustadz Ilham Mahmudin, S.Pd, dan Bilal Badal adalah Ustadz H. Ahmad Achwani, S.Ag.
Salat Iduladha dimulai pukul 07.00 WIB. Masjid Istiqlal diikuti masyarakat Ibukota dan sekitarnya. Meski demikian, pelaksanaan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Dalam khutbah, M Nuh menyampaikan bahwa mensyukuri nikmat bisa bersyukur. Karena hanya sedikit hamba-hamba Allah yang pandai bersyukur (QS: As-Saba’:13). Bersyukur bukan hanya atas pemberian nikmat, tetapi juga atas dihilang-hindarkan dari musibah. Kita sendiri tidak tahu musibah apa yang akan terjadi, dan betapa banyak musibah yang semestinya terjadi, tetapi Allah hindar-hilangkan musibah itu.
“Mari kita senantiasa bersyukur dalam keadaan apapun,” kata M Nuh saat menyampaikan Khutbah Idul Adha, di Jakarta, Minggu (10/7/2022).
“Salah satu di antara ciri khas nikmat Allah SWT adalah bersifat ‘kontinyu’, terus menerus. Hanya sesekali terjadi diskontinuitas, namun periode diskontiunitasnya sangat jauh lebih kecil dibanding periode kontinuitasnya,” sambung M Nuh.
M Nuh menyampaikan bahwa terjadinya diskontinuitas tersebut semata-mata untuk mengingatkan, agar manusia sadar jika selama hidupnya sudah mendapatkan nikmat tersebut. Sebagai contoh, berapa kali manusia mengalami sariawan (stomatitis aphtosa) di mulut-bibir-lidahnya. Dengan sariawan yang hanya dua hari saja, rasanya hidup ini sangat tidak nyaman dan terganggu. Dan bandingkan dengan berapa lama kita terbebas dari sariawan.
“Dengan menggunakan Teorema Limit (matematika), perbandingan tersebut akan menghasilkan bilangan tak berhingga atau infinit. Dari sifat kontinuitas ini, maka tidak ada alasan sama sekali bagi kita untuk tidak bersyukur,” kata M Nuh.
Menyitir Ibn Atha’illah dalam Al Hikam (199) disampaikan bahwa nikmat itu dirasakan betapa besar nilainya, setelah nikmat itu tercabut. Besarnya nikmat mampu melihat baru terasa, disaat kita mengalami gangguan penglihatan.
“Saya mengajak semuanya untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan kita. Keimanan yang tidak hanya meyakini tentang adanya alam semesta (makhluk) yang bersifat nisbi, tetapi juga meyakini seyakin-yakinnya adanya Allah SWT sebagai Pencipta (Cholik), satu-satunya Tuhan yang patut disembah dan bersifat mutlak. Meyakini Rasulullah Muhammad SAW sebagai RasulNya. Keyakinan yang tidak hanya meyakini tentang adanya alam syahadah (physical space), tetapi juga meyakini tentang adanya alam ghaib (cyber space). Keyakinan yang tidak hanya meyakini adanya masa kini, tetapi juga masa lalu (Para Rasul dan kitab-kitabnya sebelum Rasulullah Muhammad SAW) dan keyakinan adanya masa depan, setelah kehidupan dunia ini (alam barzakh dan akhirat),” papar M Nuh.
M Nuh juga menyampaikan agar sesama manusia saling ingat mengingatkan dan ajak mengajak untuk senantiasa menjalankan dengan sebaik-baiknya (bukan sekadar menjalankan) perintah Allah SWT dan Rasul-Nya dan menjauhi (bukan sekadar meninggalkan) segala yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Baik dalam dimensi personal maupun sosial, mahdhoh maupun ghoiru mahdhoh. Semua itu akan menjadi orang-orang yang sholeh secara personal dan sholeh secara sosial.
“Sebaik-baik orang adalah orang yang paling banyak memberikan kemanfaatan bagi manusia,” tands M Nuh mengutip sabda Rasulullah SAW.
“Kemuliaan seseorang, ditentukan oleh kemampuannya dalam memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan. Dengan menggunakan mafhum mukhollafah (logika balik), maka ketidak-muliaan (kehinaan) seseorang itu, ditentukan oleh kemudharatan atau penderitaan yang harus ditanggung orang lain akibat perilaku dan perbuatan dirinya. Semangat untuk senantiasa memberikan kemanfaatan (Anfa’isme), kita jadikan sebagai nilai (value) dalam kehidupan kita,”lanjut M Nuh.
Makna Ibadah Haji
Sekarang ini, kata M Nuh, saudara-saudara muslim sedang menunaikan Ibadah haji setelah masa Pandemi Covid 19. Mereka dan kita tentu sangat rindu untuk menjadi dhuyufurrahman. Mari, kita doakan agar prosesi ibadah hajinya lancar dan mudah-mudahan Allah SWT menjadikannya sebagai Hajjan Mabrur, Sya’yan Masykur, Dzanban Maghfur dan Tijarotan lan Tabur. Dan semoga kita semua yang sudah berhaji, Allah tetap menjaga dan merawat kemabrurannya, dan bagi yang belum berhaji, semoga Allah mentakdirkannya bisa menunaikan ibadah haji di tahun-tahun mendatang. Allahumma Amin.
M Nuh menjelaskan bahwa dalam salah satu do’a thawaf diungkapkan, prosesi ibadah haji itu merupakan ‘simbolisasi’ perjalanan menuju Allah SWT. Dengan keikhlasan sebagai landasannya (semata-mata karena Allah), bersemangat dalam berikhtiar dan optimisme sebagai budayanya (sebagai konsekuensi dari prinsip tauhid), membangun untuk meraih kehasanaan (’kejayaan’), baik masa kekinian (ad-dunya) dan kenantian (al-akhirat) serta terbebasnya dari kepedihan api neraka (kesulitan, kerumitan dan kepedihan hidup) sebagai cita dan tujuannya. [QS:2:201].
“Prosesi ibadah haji tidak dikenal perbedaan berdasar unsur primordial (suku dan ras), yang ada hanya hamba dan tamu Allah. Ibadah haji merupakan titik temu antar beragam etnik, suku, bangasa, profesi dan status sosial-praktek kebhinekaan, bukan saja kebhinekaan dalam satu Bangsa dan Negara, tetapi lintas Bangsa dan Negara,” kata M Nuh.
M Nuh menjelaskan bahwa Ibadah haji adalah ibadah yang penuh pergerakan, sangat dinamis dalam dimensi posisi (ruang) dan waktu. Itulah perjalanan hidup, selalu bergerak dalam dimensi ruang dan waktu, yang dalam pergerakannya tersebut berujung (kembali) kepada Allah [QS:2:156, 21:93], yang tidak hanya diungkapkan pada saat mengalami musibah, tetapi sebagai pengingat bahwa apa pun yang kita lakukan muaranya adalah ketertundukan dan kepatuhan kepada yang Maha Kuasa dengan penuh keridhaan atau dengan keterpaksaan [QS:3:83,13:15].
“Pergerakan tersebut bukan dilakukan ’sendirian’, akan tetapi setiap orang melakukannya, sehingga terjadi pergumulan dan interaksi antar jamaah. Semangat ta’awun (saling membantu-kolaborasi-sinergi) dan ego sentris seringkali berbenturan dalam prosesi haji tersebut, dan itulah fakta dan realitas kehidupan,” kata M Nuh.
Dalam pandangan M Nuh, ada filosofi yang berbeda antara kompetisi-lomba (musabaqah) dan kolaboratif-sinergis (mu’awwanah). Dalam berlomba (fastabiqu: to be in advance), untuk meraih kemenangan harus mengalahkan yang lain. Untuk itu, yang menjadi jargon utamanya adalah indeks daya saing (competitiveness index).
“Untuk menjadi terbaik (‘pemenang’) tidak harus mengalahkan yang lain, tetapi bisa menang bersama-sama, sukses bersama dengan besaran kemanfaatan (gain) ditentukan oleh besarnya kontribusi dalam berkolaborasi sinergi,” tegas M Nuh.
Sedangkan kompetisi/tanafasa, kata M Nuh, berasal dari nafs/diri, nilai yang dikandungnya adalah ego-sentris untuk bisa mengalahkan yang lain. Ke-akuannya lebih dominan dibanding ke-kitaan. Tentu, yang kita harapkan adalah bagaimana kita bisa melakukan transformasi dari ‘saya’ atau ‘aku’ menjadi ‘kami’, dan ‘kami’ menjadi ‘kita’.
“Kekitaan sebagai spirit (value) sedangkan gotong royong dengan prinsip kesalingan (mutuality) sebagai aksinya. Tidakkah, sholat berjamaah (ke-kitaan) memiliki nilai yang jauh lebih besar dibanding sholat sendirian (ke-akuan). Dan tidakkah, mendahulukan kepentingan umum (kekitaan), dibanding kepentingan diri (ke-akuan), termasuk bagian dari kemuliaan dan pengorbanan,” kata M Nuh.
M Nuh menjelaskan bahwa semangat ke-kitaan dan gotong royong yang dirintis oleh pendiri Bangsa dan Negara Indonesia, bukanlah sesuatu yang didapat secara serta merta (given), tetapi melalui proses yang panjang, kompleks dan berat. Berangkat dari titik persamaan, dikembangkan menjadi garis, bidang dan akhirnya menjadi ruang persamaan. Proses lahirnya NKRI, Pancasila dan UUD 1945 tidak lain adalah hasil dari semangat persamaan dan ke-Kitaan. Bukan semangat perbedaan dan ke Akuan.
“Tugas kita adalah mencipatakan sebanyak-banyaknya ruang persamaan dan merawatnya dengan baik. Mulai dari kesaaman sebagai manusia ciptaan Allah (ukhuwah basyariyah), sesama warga bangsa (ukhuwah wathoniyah), sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah) dan titik-ruang persamaan lainnya,” tegas M Nuh.
Tidak menafikan, M Nuh menilai bahwa tantangan dalam membangun kekitaan semakin dinamis dan kompleks. Hal ini dikarenakan perubahan perilaku setiap generasi. Masing-masing generasi (Baby Boomers, Gen X, Gen Y, Gen Z dan Gen Alpha dst) memiliki keunikan perilaku sendiri. Untuk itu, desain, pendekatan dan paradigma membangun kekitaan juga harus mengikuti perkembangan zaman.
“Setiap kali kita memasuki bulan Zulhijah, kita diingatkan tentang pentingnya meneladani Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Ada beberapa nilai keteladanan yang bisa kita ambil, antara lain: (1) pentingnya hujjah atau pola pikir berbasis rasionalitas di dalam proses mencari kebenaran. Oleh karena itu dalam ilmu tauhid dikenalkan dalil aqli sebagai instrumen untuk mencari kebenaran. Dalam kondisi normal (obyektif-tidak ada interes tertentu) dalil aqli tersebut sifatnya lazim (common sense). (2) pentingnya membangun dalam skala dzurriyat (generasi bergenerasi), yang berbasis pada tiga hal: tilawah (skills), ta’allum (knowledge), dan tazkiyah (attitude). Dan (3) Kisah tentang kepatuhan Nabi Ismail AS terhadap Nabi Ibrahim AS. Kepatuhan sang anak kepada orang tuanya. Tentang pentingnya kesejatian Pemimpin dan kepemimpinannya (leadership) serta kesejatian pengikut dan kepatuhannya (followership),” papar M Nuh.
“Tentu akan menjadi semakin sempurna, dalam membangun bangsa dan negara memiliki nilai spiritualitas, yang manfaatnya tidak hanya selama di dunia saja, tetapi juga sampai di akhirat. Untuk itu, kita niatkan ikhtiar memajukan bangsa sebagai bagian dari ibadah. Dan di sinilah pentingnya memahami secara utuh perjalanan kehidupan manusia,” tambah M Nuh.
“Dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah haji dan keteladanan Nabi Ibrahim AS, kita semua dikaruniai kemampuan untuk menjadi inovator kebaikan khususnya dalam memperkuat semangat kekitaan dan gotong royong serta merawat dan memperkuat kebhinekaan kita. Tidakkah Allah SWT yang menjadikan kita semua ini dalam keragaman, agar kita bisa saling kenal mengenal,” tutup M Nuh.
Sumber : kemenag.go.id