SUARAMANADO, Jakarta : CEO JPMorgan Jamie Dimon mengatakan bahwa perang dingin antara Rusia dan Amerika Serikat (AS) kembali terjadi pasca serangan Moskow ke Ukraina. Ia menyebut hal ini dapat memicu resesi yang cukup besar di Negeri Paman Sam.
Dalam sebuah pernyataan kepada Bloomberg, Dimon mengatakan tanda-tanda resesi dapat dilihat dari harga sumber energi yang meningkat. Bahkan, ia berandai-andai bila harga minyak menembus US$ 185 per barrel akibat perang ini.
“Energi global genting … Jika minyak mencapai $ 185 itu masalah besar bagi orang-orang dan kita harus melakukan semua yang kita bisa hari ini. Kita perlu memompa lebih banyak minyak dan gas,” ujar Dimon seperti dikutip CNN International, Kamis (5/5/2022).
Ia juga kemudian menyebut The Fed harus bergerak lebih cepat untuk menaikkan suku bunga demi mencegah kemungkinan resesi ini. Dimon melihat hanya satu dari tiga peluang bahwa Fed dapat merancang pendaratan lunak di mana inflasi dikendalikan dan ekspansi ekonomi berlanjut.
“Kami sedikit terlambat tetapi ingat dua tahun lalu kami memiliki 15% pengangguran dan tidak ada vaksin. Orang-orang harus mengambil napas dalam-dalam dan memberi mereka kesempatan,” katanya, sambil memberikan contoh bagaimana keadaan ekonomi saat pandemi Covid-19.
“The Fed akan mencoba untuk memperlambat ekonomi sehingga 8% [inflasi] mulai turun dari waktu ke waktu. Saya berharap yang terbaik untuk mereka,” tuturnya lagi.
Meski begitu, Dimon juga memberikan gambaran terkait konsumen dan situasi ekonomi AS saat ini. Ia mengatakan ekonomi dan daya beli konsumen masih cukup baik meski dihantam kenaikan harga akibat perang.
“Ekonomi AS sangat kuat sekarang dan konsumen dalam kondisi yang sangat baik,” tandasnya.
Informasi saja, Perang Dingin adalah perang ideologi antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat (AS) dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet. Keduanya bertarung untuk meningkatkan pengaruh ideologi pada negara lain. Beberapa ahli menyebut Perang Dingin berakhir pada 1991 ketika Uni Soviet runtuh.
Sumber : cnbcindonesia.com