SUARAMANADO, New York : “Dunia saat ini berada di persimpangan jalan. Satu- satunya jalan untuk mengatasi berkurangnya kepercayaan dan kesenjangan global adalah dengan meningkatkan solidaritas dan tanggung jawab kolektif global,” demikian ditegaskan Menlu Retno Marsudi dalam pidatonya di depan Majelis Umum PBB, siang tadi (23/09) di New York, Amerika Serikat.
Seruan tersebut diambil dari pesan inti dari Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan di tahun 1955. Melalui 10 Prinsip Bandung, Indonesia menyerukan kepada seluruh negara untuk menghormati Hak Asasi Manusia, Piagam PBB, kedaulatan dan integritas wilayah, kesetaraan, menyelesaikan konflik secara damai, serta mendorong peningkatan kerja sama dan kepentingan bersama. Semangat Bandung inilah yang mendorong Indonesia menjadi negara yang bisa ‘mendengar’ dan selalu menjadi bagian dari solusi.
“Bagi Indonesia, kepemimpinan global tidak hanya melulu tentang kekuasaan atau pengaruh untuk mendikte orang lain. Kepemimpinan global adalah tentang mendengarkan yang lain, menjadi bridge builder, menghormati hukum internasional secara konsisten, serta menghormati semua negara secara setara” tambahnya.
Sekali lagi Retno menyampaikan bahwa seperti yang terjadi di tahun 1955, situasi global saat ini tidak menentu: kepercayaan dan solidaritas yang terus tergerus, rivalitas antar negara terus menajam. Hal ini bahkan telah menghalangi dapat dipenuhinya target SDGs di negara-negara berkembang.
Menanggapi situasi ini, ia selanjutnya bertanya: “apakah kita benar-benar memiliki komitmen untuk membangun kepercayaan dan berupaya mencapai SDGs? Apakah kehadiran kita di SMU PBB ini benar-benar menunjukkan kesiapan kita untuk bersatu dan menunaikan tanggung jawab bersama? Apakah kita benar-benar mau melakukan apa yang kita sampaikan (walk the talk)?”.
Untuk itu, ia menawarkan tiga strategi untuk membangun kembali kepercayaan dunia dan menghidupkan kembali solidaritas global, yaitu:
Pertama, mendesak kepemimpinan kolektif global.
“Nasib dunia tidak boleh ditentukan oleh segelintir pihak/negara”, tukas Retno. Ia menekankan bahwa dunia yang damai, stabil, dan sejahtera adalah hak dan tanggung jawab kolektif seluruh negara, baik negara besar atau kecil, di utara atau selatan, negara maju atau negara berkembang.
Menlu RI mendesak seluruh pihak untuk dapat menjunjung tinggi hukum internasional, khususnya prinsip utama kedaulatan dan integritas wilayah dan memastikan semua perbedaan diselesaikan di atas meja perundingan, bukan di medan perang.
Secara khusus, tanggung jawab kolektif ini sangat yang diperlukan untuk menyelamatkan rakyat Palestina dan Afganistan. “Sudah terlalu lama kita membiarkan saudara dan saudari kita di Palestina dan Afghanistan menderita. Indonesia tidak akan mundur sedikit pun untuk perjuangan mereka”, pungkas Retno.
Kedua, mendorong pembangunan untuk semua.
Menlu RI menyampaikan bahwa setiap negara memiliki hak yang sama untuk membangun dan tumbuh. Namun sayangnya arsitektur global saat ini hanya menguntungkan beberapa negara saja. Kebijakan perdagangan yang diskriminatif masih terus terjadi, rantai pasok global masih dimonopoli, negara berkembang masih dililit hutang asing. Semua ini menjadi faktor pendorong tergerusnya kepercayaan dan solidaritas.
“Inilah saatnya bagi kita untuk lakukan perubahan. Hilirisasi industri tidak boleh jadi seruan eksklusif dari negara berkembang saja, tapi harus didukung oleh negara maju”, ujarnya.
Terkait isu perubahan iklim, Menlu juga menyerukan negara-negara maju untuk memenuhi tanggung jawab mereka termasuk untuk pembiayaan perubahan iklim, investasi hijau dan transfer of technology. Sementara untuk isu teknologi, ia berharap teknologi digital terkini seperti AI dapat diakses juga oleh negara-negara berkembang, karena penting bagi pertubuhan berkelanjutan mereka.
Ketiga, memperkuat kerja sama regional.
“Institusi regional harus menjadi kontributor utama dan ‘building blocks’ bagi perdamaian dan kemakmuran dunia”, jelas Retno.
ASEAN adalah contoh kerja sama kawasan yang efektif dan berkontribusi bagi perdamaian dan kemakmuran global. Sebagai ketua ASEAN, Indonesia telah berhasil menavigasi ASEAN melewati dinamika geopolitik yang tidak mudah di kawasan.
“Kita tidak akan biarkan kawasan kita jadi ladang rivalitas. Bahkan, kita telah menjadikan kawasan ini sebagai pusat pertumbuhan, di mana semua negara diuntungkan,” tambah Retno.
Lebih lanjut ia juga menyampaikan bahwa selama keketuaan Indonesia di ASEAN, ASEAN tetap bersatu, sentralitasnya semakin kuat. ASEAN juga telah memulai pembahasan visi jangka panjang ASEAN 2045, menjalin kemitraan dengan Pacific Islands Forum dan Indian Ocean Rim Association dalam rangka menciptakan kawasan Indo Pasifik yang damai, serta mengimplementasikan ASEAN Outlook on Indo-Pacific ke dalam kerja sama konkret dan inklusif.
Terkait isu Myanmar, Menlu RI tegaskan bahwa ASEAN akan terus mendesak junta militer Myanmar untuk mengimplementasikan Five-Point Consensus. “ASEAN akan melakukan segala upaya untuk memastikan rakyat Myanmar tidak sendirian”, tegas Retno.
Di akhir pidatonya, Menlu Retno kembali menandaskan perlunya reformasi sistem multilateral yang ada saat ini dan mengajak negara-negara untuk menerjemahkan komitmen mereka ke dalam aksi nyata.
Menlu Retno dan delegasi Indonesia mengenakan bermacam-macam wastra nusantara pada SMU PBB hari ini. “Kita berbeda, tapi kita satu,” ujar Retno.
Sumber : kemlu.go.id