SUARAMANADO, Bali : Menteri Komunikasi dan Informatika terus mendorong pengembangan kapasitas dan kesiapan Indonesia sebagai digital nation dalam menyambut berbagai tren inovasi digital di dunia khususnya di bidang keuangan. Dalam sejarahnya, Indonesia telah melalui perjuangan kedaulatan politik ketika masa meraih kemerdekaan, dilanjutkan perjuangan kedaulatan maritim yang diraih melalui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) tahun 1982. Saat ini, pengembangan infrastruktur digital dilakukan untuk mempersiapkan Indonesia memasuki era kedaulatan digital.
“Sekarang kita masuk ke era kedaulatan digital. Selain manfaat-manfaat ruang digital dari sisi ekonomi, tetapi dia berkaitan juga dengan sovereignty dan geostrategis, sehingga kita harus meletakkannya dengan benar,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate, saat menjadi pembicara dalam sesi Leader’s Talk dalam Festival Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) yang diselenggarakan di Ubud, Bali, pada Senin (11/07) lalu.
Dalam mempersiapkan era kedaulatan digital di Indonesia, diperlukan upaya transformasi digital yang dilakukan secara inklusif. Hal tersebut sesuai dengan arahan yang diberikan oleh Bapak Presiden, Ir. H. Joko Widodo. “Presiden sendiri memberikan directive yang sangat jelas bahwa di era transformasi digital ini kita harus memastikan ‘no one shall be left behind’, karenanya kita harus menjangkau kepada seluruh rakyat dan ke seluruh wilayah,” tambah Menteri Johnny.
1. Upaya Pembangunan Infrastruktur Digital di Sektor Hulu
Di sektor hulu, pembangunan infrastruktur digital dilakukan di tiga lapisan, yaitu di lapisan backbone, middle-mile, dan last-mile. Lapisan backbone atau tulang punggung konektivitas di Indonesia adalah melalui jaringan fiber optic. Hingga ini, jaringan fiber optic di Indonesia telah digelar hingga lebih dari 459.000 kilometer, terdiri dari jaringan inland (darat) dan subsea (bawah laut). “Dasar laut Indonesia dilintasi oleh Ring of Fire, sehingga aktivitas vulkanis bawah lautnya tinggi dan menyebabkan banyak fiber optic yang terputus dan harus disambung kembali,” tambah Menteri Johnny.
Penggelaran di lapisan backbone juga terus dioptimalkan dengan menyambungkan titik-titik fiber optic melalui Palapa Ring yang telah tergelar sepanjang lebih dari 12.400 kilometer. Selain itu, titik-titik fiber optic yang masih belum terhubung juga akan disambungkan melalui Palapa Ring Integrasi sepanjang lebih dari 12.100 kilometer. “Kita perlu menggelar tambahan untuk menghubungkan titik-titik yang belum terhubung. Kita bangun Palapa Ring Integrasi melalui program public-private-partnership,” jelas Menteri Johnny.
Namun demikian, tidak semua wilayah nasional dapat dihubungkan dengan fiber optic, dan oleh karenanya, pembangunan di lapisan middle-mile perlu dilakukan. “Ada wilayah-wilayah yang sama sekali tidak bisa terhubung karena tantangan geografi, tantangan topografi, tantangan logistik, dan lain sebagainya, sehingga kita harus membangun yang disebut dengan microwave-link dan fiber-link,” ujar Menteri Johnny.
Penguatan lapisan middle-mile juga dilakukan melalui utilisasi satelit sebagai salah satu sarana konektivitas. Saat ini, Indonesia menggunakan 9 satelit dengan total kapasitas sebesar 50 Gbps. “Dari proyeksi peta jalan satelit, kita membutuhkan setidaknya satu terabyte per second (Tbps) kapasitas satelit sampai tahun 2030. Saat ini, di dalam pipeline kita, telah ada dua high-throughput satellite yang sedang diproduksi dengan kapasitas 2×150 Gbps Satelit Geostasioner (GEO) atau enam kali kapasitas 9 satelit yang ada, yaitu 300 Gbps,” jelas Menteri Johnny. Kedua satelit tersebut adalah satelit SATRIA-I dan Hot Back-up Satellite yang akan menjangkau 150.000 titik layanan publik yang belum terkoneksi internet di Indonesia.
“Mudah-mudahan di akhir tahun 2023 dan di awal tahun 2024, seluruh layanan public point akan bisa kita layani dengan satelit,” ungkap Menteri Johnny.
Pengembangan utilisasi satelit di Indonesia juga dilakukan melalui pemberian izin hak labuh (landing right) untuk satelit Low Earth Orbit (LEO), seperti Starlink, untuk kebutuhan layanan backhaul infrastruktur konektivitas dan bukan untuk operasi Internet Service Provider (ISP). Saat ini, tengah dilakukan evaluasi terhadap operator-operator satelit Low Earth Orbit lainnya untuk memberikan layanan backbone infrastruktur untuk konektivitas nasional.
Di lapisan last-mile, telah dibangun sekitar 500.000 Base Transceiver Station (BTS) di Indonesia. Namun, jumlah tersebut belum cukup untuk menghadirkan jaringan 4G di seluruh 83.218 desa dan kelurahan di Indonesia. Masih ada sekitar 12.548 desa dan kelurahan di wilayah 3T dan di wilayah komersial, bahkan di ibukota negara yang masih blankspot. “Kita semua berharap bahwa di akhir pemerintahan Kabinet Indonesia Maju, seluruh desa dan kelurahan sudah tersedia layanan sinyal 4G network,” ujar Menteri Johnny.
Untuk meningkatkan kualitas layanan telekomunikasi dan memacu digitalisasi nasional, Kementerian Kominfo juga melakukan pengelolaan spektrum frekuensi radio Indonesia yang menjadi prasyarat pembangunan infrastruktur telekomunikasi.
“Sama seperti membangun jalan, kalau tidak ada tanahnya tidak bisa membangun jalan tol karenanya kami sedang melakukan farming dan refarming spectrum frequency”, tutur Menteri Johnny.
Saat ini Kominfo tengah menata kembali spektrum frekuensi radio untuk mengembangkan jaringan 4G dan 5G Indonesia di seluruh layer pita frekuensi, yakni di low band (coverage band), capacity band, serta milimeter wave band dengan tujuan mendukung pengembangan teknologi-teknologi seperti unmanned vehicles.
2. Penggelaran Infrastruktur Digital di Sektor Hilir
Pembangunan infrastruktur digital juga terus dilakukan di infrastruktur digital sektor hilir, termasuk melalui pembangunan Pusat Data Nasional (PDN). Konsumsi data per kapita di Indonesia saat ini setara dengan 1 watt per kapita, sedangkan konsumsi pusat data negara lain dapat mencapai 100 watt per kapita. “Untuk meningkatkan dari 1 watt ke 10 watt per kapita, kita butuh sekitar 3 gigawatt listrik,” terang Menteri Johnny.
Menteri Johnny juga mengungkapkan terkait inefisiensi penggunaan Pusat Data, di mana Pemerintah (Pusat dan Daerah) saat ini menggunakan sekitar 2.700 Pusat Data dan hanya 3% Pusat Data Pemerintah yang berbasis cloud, dan sisanya merupakan server dan ethernet yang bekerja sendiri-sendiri. “Sangat sulit untuk interoperabilitas data untuk menghasilkan satu data yang akan menjadi basis implementasi data-driven policy di Indonesia,” ujar Menteri Johnny.
Saat ini, untuk mendukung pemerintahan digital, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menggunakan sekitar 24.400 aplikasi berbeda beda. Menteri Johnny menerangkan bahwa kita harus menata ulang dan mengembangkan aplikasi super (super apps) Indonesia yang terintegrasi untuk semakin mengefisienkan dan memudahkan layanan publik. “Ini sedang kita siapkan dalam roadmap Kominfo. Dari 24.400 aplikasi, kita pelan-pelan mulai lakukan shutdown atau tutup dan pindah pelan-pelan,” jelas Menteri Johnny.
Sedangkan dalam upaya pembangunan dan pemerataan infrastruktur hilir, Pemerintah merencanakan untuk membangun 4 Pusat Data Nasional (PDN) berbasis cloud. Pusat data akan dibangun di Jakarta, Batam, Labuan Bajo, dan di Ibu Kota Negara baru Nusantara.
Terpilihnya lokasi-lokasi pembangunan pusat data tersebut didasarkan pada tiga basis utama. “Pertama adalah tersedianya kapasitas power supply yang memadai, kedua harus tersedia fiber optic network yang memadai, dan ketiga harus tersedia cooling water system di dalamnya,” ujar Menteri Johnny.
3. Talenta Digital sebagai Prasyarat Digitalisasi Sektor Keuangan: Kominfo Lakukan Pelatihan di Tiga Tingkatan
Selain pembangunan infrastruktur digital secara masif dari hulu hingga hilir, Menteri Johnny juga menekankan pentingnya Sumber Daya Manusia (SDM) nasional untuk menguasai digital skills di setiap tingkatan, yakni tingkat dasar (basic), menengah (intermediate), dan atas (advanced).
Di tingkat dasar misalnya, diperlukan penguasaan kecakapan digital yang didasari 4 pilar utama, yakni digital skills, digital safety, digital ethics dan digital culture, agar dapat menyukseskan program-program strategis nasional seperti program Bangga Buatan Indonesia (BBI) dan juga digital onboarding bagi pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
“Kita juga butuh talent-talent digital di semua layer. Dari tingkat basic digital skills, kita harus menghadirkan jutaan rakyat untuk diperkenalkan dengan digital melalui kurikulum-kurikulum tersebut agar program Bangga Buatan Indonesia atau onboarding UMKM bisa berhasil,” tutur Menteri Johnny.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Gerakan Nasional Literasi Digital Kominfo telah melakukan pelatihan digital tingkat dasar kepada 12,5 juta orang dan menargetkan untuk melatih lebih dari 5,5 juta orang pada tahun 2022 ini.
Selanjutnya pada tingkat menengah (intermediate), Menteri Johnny memberi gambaran bahwa Indonesia membutuhkan sebanyak 9 juta talenta digital untuk 15 tahun ke depan atau sekitar 600.000 talenta digital setiap tahunnya. Sehingga, dibutuhkan kolaborasi dengan seluruh pihak untuk dapat mengisi gap talenta digital tersebut.
“Pemerintah menyiapkan sekitar 150.000 – 200.000 oleh Kominfo. Pelatihan digital bekerja sama dengan global technology companies, tetapi itu belum cukup. Ekosistem digital harus bersama-sama mengupayakannya. Jika tidak maka tenaga kerja atau talent-talent intermediate skills bangsa lain yang akan mengisi talenta digital yang kita butuhkan, termasuk untuk memberikan dukungan kepada UMKM dan perkembangan Internet-of-Things (IoT) di Indonesia,” ujar Menteri Johnny.
Kementerian Kominfo melalui program Digital Talent Scholarship (DTS) terus melakukan pelatihan kecakapan digital untuk Teknologi 4.0 seperti artificial intelligence, big data, cloud computing, dan cybersecurity. Pada tahun 2022, program DTS menargetkan untuk melatih sebanyak 200.000 peserta.
Lalu untuk kecakapan digital tingkat atas (advanced), Menteri Johnny mengulas pentingnya para pemimpin organisasi atau pembuat kebijakan, baik di sektor publik dan privat, untuk memiliki keahlian di bidang digital. Program Digital Leadership Academy (DLA) oleh Kominfo bertujuan untuk menjawab kebutuhan tersebut dengan memberi pelatihan digital strategis melalui kerjasama dengan 8 universitas ternama di dunia.
“Saat ini, Kominfo bekerja sama dengan delapan Universitas top di dunia, seperti National University of Singapore (NUS), Tsinghua University di Beijing, Oxford University, Imperial College London, Cambridge University, Harvard Kennedy School, MIT dan lainnya, untuk menghasilkan advanced digital skills kita,” ujar Menteri Johnny.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Johnny juga mengajak para policy maker dan C-level untuk mengikuti program DLA Kominfo yang menargetkan untuk melatih 500 peserta tahun ini.
“Saya mengajak sekarang pejabat-pejabat Pemerintah Daerah, dalam rangka smart city, mengajak semua pejabat-pejabat Kementerian dan Lembaga termasuk BUMN mengambil bagian program itu, karena di situ diberikan pendidikan-pendidikan yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan digital kita,” pungkas Menteri Johnny.
Sumber : kominfo.go.id