Bio Farma Gelar Workshop Penanganan Gigitan Ular di Kupang, Dukung Ketersediaan Serum Anti Bisa di Daerah Endemis

SUARAMANADO, Jakarta: Kupang menjadi kota pertama penyelenggaraan workshop bertajuk Update on Snakebite Management in Indonesia yang diselenggarakan Bio Farma bersama Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Rabu, 9 April.

Bertempat di Hotel Aston Kupang, kegiatan ini menjadi langkah awal dari rangkaian workshop yang rencananya akan digelar di berbagai kota besar lainnya di Indonesia.
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan medis di daerah-daerah endemis gigitan ular berbisa.
Kepala Departemen Manajemen Produk Nasional Bio Farma, dr. Erwin Setiawan, menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen mendukung penanganan kasus gigitan ular berbisa melalui penyediaan berbagai jenis serum anti bisa.
“Ketika kasus gigitan ular ditangani dengan cepat dan tepat, tentu akan bisa menurunkan angka kematian.”
“Kami juga berharap menjadi solusi untuk tenaga kesehatan di NTT dalam menangani kasus gigitan ular,” ujar Erwin saat memberikan sambutan dalam acara tersebut.
Workshop ini menghadirkan Dr. dr. Trimaharani, M.Si, Sp.Em, satu-satunya ahli toksinologi ular di Indonesia sebagai narasumber utama.
Ia menyoroti pentingnya penanganan pertama terhadap korban gigitan ular berbisa.
“Penanganan pertama memegang peranan penting terhadap keselamatan pasien gigitan ular.”
“Di Nusa Tenggara Timur terdapat 3 jenis ular berbisa, yaitu ular hijau (Trimeresurus insularis), ular bandotan (Daboeia russellii siamenensis), dan ular laut Laticauda colubrina.”
“Serum anti bisa ular yang perlu terdapat di NTT adalah Hemato Polyvalent Antivenom yang didistribusikan oleh Bio Farma.”
Dalam kondisi ketika pasien sudah memasuki fase sistemik, antivenom menjadi satu-satunya cara untuk menetralkan bisa ular di dalam tubuh.
Jenis serum yang digunakan harus sesuai dengan jenis ular dan toksinnya, sehingga penggunaannya tidak boleh sembarangan dan harus berdasarkan petunjuk ahli.
Pemahaman ini menjadi hal penting yang ditekankan dalam pelatihan tersebut.
Data dari Indonesia Toxinology Society menunjukkan bahwa Indonesia mengalami sekitar 135.000 kasus gigitan ular setiap tahunnya.
Dari jumlah tersebut, 10 persen berujung pada kematian.
Namun, angka ini belum sepenuhnya menggambarkan kondisi sebenarnya karena keterbatasan pelaporan di lapangan.
Hal ini menegaskan perlunya pelatihan yang merata dan tepat bagi tenaga medis.
drg. Iien Adriany, M.Kes, selaku Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT, menyampaikan bahwa penanganan gigitan hewan berbisa masih merupakan program baru di wilayahnya.
Ia menyoroti bahwa prosedur penanganan awal di fasilitas layanan kesehatan tingkat pertama masih belum seragam.
“Kegiatan yang diinisiasi Bio Farma ini merupakan momen yang sangat penting.”
“Diharapkan kegiatan ini dapat meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam melakukan pertolongan pertama kasus gigitan ular berbisa,” ungkapnya dalam sambutan pembuka acara.
Workshop ini diikuti oleh 100 peserta secara luring dan 500 peserta secara daring, yang terdiri dari tenaga medis dari berbagai wilayah di NTT.
Peserta mendapatkan materi tatalaksana penanganan gigitan ular dan hewan beracun.
Selain itu, dalam sesi hands on training, peserta mempraktikkan imobilisasi dan teknik pertolongan pertama lainnya.

Pelatihan ini juga didukung oleh 4Life dan Teleflex untuk menunjang pembelajaran langsung di lapangan.

Sumber: kabarbumn.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *