SUARAMANADO, Jakarta : Sebagai pasar ponsel terbesar keempat di dunia, Indonesia menjadi magnet yang tak pernah pudar.
Hampir semua brand-brand global terkemuka hadir di sini. Mengadu peruntungan demi pangsa pasar dan potensi pendapatan.
Namun banyaknya pemain, membuat medan persaingan mirip dengan kawah candra dimuka. Tak heran, imbas ketatnya persaingan membuat peringkat vendor teratas kerap berubah.
Tengok saja laporan Canalys pada Q4-2023 yang diumumkan pekan lalu. Secara mengejutkan, Vivo mampu menyegel posisi pertama sebagai raja ponsel di Indonesia.
Merek ponsel yang merupakan bagian dari BBK Group itu, mampu menguasai pangsa pasar sebesar 19% dengan tingkat pertumbuhan tahunan 13%.
Di posisi kedua, brand yang identik dengan harga terjangkau, Xiaomi melejit dengan menguasai 18%.
Vendor yang didirikan oleh Lei Jun itu, membukukan pertumbuhan YoY 40%.
Raksasa teknologi asal Korea Selatan, Samsung tergelincir di posisi ketiga dengan pangsa pasar 18%. Samsung memang sedang tersendat lantaran mengalami petumbuhan tahunan hanya 1%.
Di urutan keempat cukup mengejutkan, ada Transsion yang merupakan induk dari Infinix, Tecno dan Itel. Pangsa pasar vendor yang berbasis di Shenzhen itu, sama seperti Xiaomi dan Samsung.
Hanya saja pertumbuhan tahunan terbilang spektakuler. Tak tanggung-tanggung, mencapai 147%, tertinggi dari vendor lain.
Di peringkat kelima dihuni oleh Oppo. Ini adalah kali pertama Oppo menjadi juru kunci. Padahal pada kuartal-kuartal sebelumnya, Oppo masih menjadi penguasa pasar.
Market share Oppo pada kuartal keempat 2023 hanya mencapai 16%. Wajar jika Oppo tak mampu mempertahankan posisi yang sudah diraih sejak 2019.
Pasalnya, pertumbuhan tahunan Oppo minus hingga 41%. Melengkapi laporan Q4-2023 yang menunjukkan perubahan signfikan dari lima vendor teratas, Canalys juga merilis laporan pasar ponsel Indonesia sepanjang 2023.
Walaupun terjerambab ke posisi lima pada kuartal terakhir, namun menurut Canalys, secara agregat Oppo masih merupakan penguasa pasar ponsel Indonesia pada 2023.
Berikut daftar lengkapnya:
Oppo : market share 20% dan pertumbuhan tahunan minus 17%
Samsung : market share 19% dan pertumbuhan tahunan minus 13% Vivo : market share 18% dan pertumbuhan tahunan minus 13%
Xiaomi: market share 16% dan pertumbuhan tahunan 3% Transsion : market share 14% dan pertumbuhan tahunan 14%
Faktor-Faktor Di Balik Penurunan Oppo
Tergesernya Oppo ke posisi buncit, sejatinya tidak terlalu mengejutkan. Pasalnya, pasar ponsel pintar di Indonesia belum sepenuhnya pulih imbas pandemi Covid-19.
Berdasarkan catatan IDC, sepanjang 2022 hingga awal 2023, industri smartphone belum menuju ke arah positif. Kondisi pasar sepanjang 2023 cenderung datar, bahkan menurun jika dibandingkan 2022.
Laporan IDC menunjukkan terdapat penurunan 14,3% pada pasar smartphone Indonesia sepanjang 2022.
Penurunan itu merupakan kali pertama setelah 13 tahun selalu bertumbuh. Tercatat, jumlah ponsel yang dikirimkan hanya mencapai 35 juta unit atau turun dari 40,9 juta unit di bandingkan 2021.
IDC menilai, dengan kondisi ekonomi yang belum pasti, pasar baru akan bertumbuh lagi di tahun-tahun berikutnya.
Prediksi IDC itu terkonfirmasi. Faktanya, permintaan smartphone sepanjang pada 2023 masih lesu. Menurut Counterpoint, pengiriman (shipment) ponsel di dalam negeri turun 6% sepanjang tahun 2023, dibandingkan periode yang sama pada 2022 (year-on-year).
Namun penurunan pengiriman ini masih lebih kecil dibandingkan penurunan 10% YoY pada semester pertama (Januari-Juni) 2023.
Nah, dengan siklus penjualan yang tengah menurun, merupakan tantangan yang tak ringan bagi setiap brand, termasuk Oppo untuk mempertahankan dan mengembangkan pangsa pasar, di tengah persaingan ketat dengan merek-merek lain.
Selain masalah siklus dan persaingan yang berdampak pada kejenuhan pasar, Oppo juga memiliki persoalan lain, yaitu diferensiasi. Meskipun perangkatnya mengesankan, Oppo masih belum cukup kuat dalam membangun diferensiasi merek.
Apalagi BBK Electronics, perusahaan induknya, juga memiliki merek lain seperti Vivo, dan Realme, yang dapat menimbulkan kebingungan merek di kalangan konsumen.
Persaingan atau bertambahnya jumlah pemain di pasar dengan proposisi nilai yang sama merupakan ancaman bagi bisnis karena secara langsung menurunkan basis pelanggan dan pendapatan.
Sehingga strategi diferensiasi sangat krusial demi membangun brand image yang kuat, sehingga merek terlihat lebih istimewa dan memenangkan persaingan di pasar.
Di sisi lain, meskipun terbilang kuat di segmen ponsel pintar kelas menengah, namun Oppo menghadapi persaingan yang ketat di segmen premium. Sejauh ini, Apple dan Samsung mendominasi ceruk yang terus bertumbuh ini, sehingga menyulitkan Oppo untuk mendapatkan pangsa pasar yang signifikan.
Hilangnya pangsa pasar yang sebelumnya dikuasai Huawei karena sanksi AS, tak serta merta dikuasai Oppo. Pasalnya, vendor-vendor lain, seperti Xiaomi, Vivo, Realme, dan Sharp juga berupaya masuk ke segmen premium.
Tak dapat dipungkiri, Oppo masih menghadapi tantangan dalam mengubah persepsi konsumen saat mereka berekspansi ke pasar ponsel pintar kelas atas.
Beberapa konsumen mungkin masih memandang Oppo sebagai merek kelas menengah dan ragu mengeluarkan uang lebih banyak untuk perangkat premiumnya.
Meski menghadapi beragam yang tantangan yang tak ringan, Oppo berpotensi untuk rebound pada tahun ini dan tahun-tahun selanjutnya. Berkat konsistensi yang sudah ditunjukkan sejak kali pertama hadir di Indonesia pada 2014.
Terdapat sejumlah faktor yang membuat Oppo kembali menjadi penguasa pasar. Diantaranya, pertumbuhan perangkat 5G yang kembali menggeliat, pertumbuhan Internet of Things (IoT) dan AI (Artificial Intelligence).
Di sisi lain, selain toko fisik, peningkatan dan perluasan saluran penjualan online dapat membantu Oppo menjangkau lebih banyak pelanggan.
Sumber : selular.id